Kamis, November 07, 2013

PUASA

Puasa, yang di dalam Al-Qur’an Ash-Shaum/Ash-Shiyam adalah salah satu dari beberapa kewajiban yang harus dilaksanakan oleh orang-orang beriman. Firman Allah :

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa. [QS. Al-Baqarah: 183]

1. Pengertian Ash-Shiyam (Puasa)
Ash-Shiyam atau Ash-Shaum menurut lughah/bahasa, artinya : “Menahan diri dari melakukan sesuatu”. Seperti firman Allh :

Sesungguhnya aku telah bermadzar akan berpuasa karena Tuhan Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seseorang manusiapun pada hari ini. [QS. Maryam: 26]

Menurut Syara’, ialah :
Menahan diri dari makan, minum, dan bersetubuh, mulai fajar hingga Maghrib, karena mengharap ridla Allah dan menyiapkan diri untuk bertaqwa kepada-Nya dengan jalan mendekatkan diri kepada Allah dan mendidik kehendak.

Menahan diri dari makan, minum, jima’ dan lain-lain yang telah diperintahkan kepada kita menahan diri padanya sepanjang hari menurut cara-cara yang disyariatkan. Disertai pula menahan diri dari perkataan sia-sia, perkataan keji/kotor dan lainnya dari perkataan yang diharamkan dan dimakruhkan pada waktu yang telah ditentukan serta menurut syarat-syarat yang telah ditetapkan.

Tegasnya : “PUASA”, ialah : Menahan diri untuk tidak makan, minum termasuk merokok dan bersetubuh dari mulai Fajar hingga terbenam matahari pada bulan Ramadhan karena mencari ridla Allah.

2. Hukum Ash-Shiyam (Puasa)
Wajib ‘Ain, artinya setiap orang Islam yang telah baligh (dewasa) dan sehat akalnya serta tidak ada sebab-sebab yang dibenarkan agama untuk tidak berpuasa, maka mereka itu wajib melakukannya, dan berdosa bagi yang meninggalkannya dengan sengaja. Firman Allah :

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa. [QS. Al-Baqarah: 183]

Dan hadits-hadits Rasulullah SAW :

Islam didirikan atas lima sendi, yaitu: 1. Mengakui bahwa tak ada Tuhan melainkan Allah dan bahwasannya Muhammad pesuruh Allah; 2. Mendirikan Shalat; 3. Menunaikan zakat; 4. Berpuasa Ramadlan dan 5. Berhajji. [HR. Bukhari dan Muslim]

Sesungguhnya seorang laki-laki bertanya kepada Nabi SAW, “Ya Rasulullah, saya mohon diterangkan tentang puasa yang diwajibkan oleh Allah kepada saya.” Nabi SAW menjawab, “Puasa di bulan Ramadlan.” Orang itu bertanya pula, “Adakah puasa yang lian yang diwajibkan atas diri saya?”. Jawab Nabi SAW, “Tidak, kecuali bila engkau hendak mengerjakan tathawwu’ (puasa sunnah). [HR. Muttafaq ‘Alaih dari Thalhah bin ‘Ubaidillah]

3. Yang Wajib Berpuasa
Ketentuan-ketentuan orang yang berkewajiban menjalankan puasa di bulan Ramadlan :
a. Orang Islam, tidak diwajibkan selain orang Islam
b. “Aqil baligh (dewasa), bukan anak-anak
c. Sehat
d. Muqim (berada di daerah tempat tinggalnya/daerah iqomahnya), bukan sebagai musafir
e. Kuat, yakni tidak memaksakan diri karena sangat berat dan payah bila berpuasa
f. Khusus bagi wanita pawa waktu suci, artinya tidak sedang haidl atau nifas.

4. Yang Membatalkan Puasa
Sepanjang tuntunan Allah dan Rasul-Nya, hal-hal yang membatalkan puasa adalah sebagai berikut :
Firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 187

Dihalalkan bagi kamu pada malam hari puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka itu pakaian bagimu, dan kamupun pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasannya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi keringanan kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu Fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam … [QS. Al-Baqarah: 187]

Dari ayat tersebut dapat diambil pengertian bahwa yang membatalkan puasa itu ialah :
a. Bersetubuh suami isteri dengan sengaja dan dilakukan pada saat puasa (dari mulai masuk waktu Shubuh hingga masuk waktu Maghrib), padahal mereka termasuk orang yang berkewajiban puasa.
Dan yang dimaksud dengan “bersetubuh”, ialah masuknya kemaluan laki-laki/suami pada kemaluan wanita/isteri. Jadi baik mengeluarkan mani maupun tidak, hukumnya tetap sama. Karena tidak adanya ayat-ayat lain maupun hadist-hadits yang membatasi, bahwa yang dimaksud “bersetubuh” adalah yang mengeluarkan mani, maka ayat itu tetap berlaku sesuai dengan keumuman lafadhnya.
b. Makan dengan sengaja, baik makanan yang mengeyangkan atau tidak.
c. Minum, baik yang menghilangkan haus atau tidak, termasuk merokok.

5. Yang Boleh Tidak Berpuasa dan Wajib Mengganti di Hari-hari Yang Lain
a. Orang yang sakit, yang apabila ia tetap berpuasa akan menambah berat atau akan memperlambat kesembuhan sakitnya, sedang sakitnya itu dapat diharapkan kesembuhannya (bukan sakit yang menahun atau sakit yang kronis dan terus-menerus sehingga sulit diharapkan kesembuhannya).
b. Musafir, ialah Orang yang sedang berpergian keluar dari daerah iqomahnya, baik dengan perjalanan yang berat dan sukar maupun dengan ringan dan mudah; kesemuanya diperbolehkan untuk tidak berpuasa dan berkewajiban mengganti di hari yang lain. Berdasarkan firman Allah :

Dan barangsiapa diantara kamu yang sakit atau dalam berpergian (musafir), maka bolehlah ia berbuka dan mengganti di hari-hari yang lain (sebanyak yang ditinggalkannya). [QS. Al-Baqarah: 184]

Dan barangsiapa yang sakit atau dalam berpergian (musafir), maka bolehlah ia berbuka dan mengganti di hari-hari yang lain (sebanyak yang ditinggalkannya). [QS. Al-Baqarah: 185]

6. Batas Waktu Mengganti
Tidak ada ketentuan dalam agama tentang batas waktu mengganti puasa yang ditinggalkan. Dapat dilaksanakan pada bulan-bulan sesudah selesai Ramadlan tahun itu atau bulan-bulan sesudah Ramadlan tahun berikutnya.
Tegasnya selama ia masih hidup, kapanpun boleh, tanpa menambah fidyah atau melipat gandakan puasanya (misalnya hutang satu hari diganti dua hari dan sebagainya). Hanya sebaiknya segera diganti.

7. Yang Boleh Tidak Berpuasa dan Hanya Mengganti Fidyah Tanpa Harus Mengganti Puasa di Hari Yang Lain
Yaitu : Orang-orang yang bila dipaksakan untuk berpuasa masih dapat tetapi sungguh amat payah sekali dalam melaksanakannya. Perhatikan Firman Allah :

Dan terhadap orang-orang yang bisa berpuasa tetapi dengan susah payah (boleh tidak berpuasa), wajib membayar fidyah. [QS. Al-Baqarah: 184]

Ayat tersebut umum, maka siapa saja yang walaupun mampu berpuasa tetapi dengan amat payah (rekoso) dalam menjalankannya, maka termasuk yang dimaksud oleh ayat di atas, misalnya :
a. Wanita yang sedang hamil yang bila berpuasa dikhawatirkan akan menimbulkan gangguan pada dirinya dan/atau anak yang dikandungnya.
b. Wanita yang sedang menyusui, baik anaknya sendiri maupun anak orang lain yang diserahkan kepadanya untuk disusui, yang bila dipaksakan untuk berpuasa akan sangat berat bagi dirinya dan/atau bagi anak yang sedang disusuinya itu. Rasulullah SAW bersabda :

Bahwasannya Allah SWT telah membolehkan bagi musafir meninggalkan puasa dan mengqashar shalat, dan Allah telah membolehkan perempuan hamil dan yang sedang menyusui meninggalkan puasa. [HR. Ahmad dan Anas bin Malik Al-Ka’bi]

Dan riwayat dari Ibnu Abbas RA. tentang istrinya yang sedang hamil, katanya :

Engkau sekedudukan dengan orang yang amat payah untuk berpuasa. Maka wajib atasmu fidyah dan tidak ada qadla’ bagimu. [HR. Al-Bazzar dan dishahihkan oleh Ad-Daruquthni]

Serta riwayat dari Ibnu ‘Umar ketika beliau ditanya oleh seorang wanita Quraisy yang sedang hamil tentang hal puasanya, maka jawab beliau :

Berbukalah kamu dan berilah makan tiap hari seorang miskin, dan jangan mengqadla’nya. [HR. Ibnu Hazm]

c. Orang yang lanjut usia/orang tua yang apabila berpuasa akan sangat memayahkannya. Berdasar keumuman ayat (Surat Al-Baqarah ayat 184) dan riwayat dari Ibnu ‘Abbas sebagai berikut :

Orang yang sangat tua, dibenarkan untuk berbuka dan wajib memberikan (fidyah) serta tidak ada qadla’ atasnya. [HR. Ad-Daruquthni dan Al-Hakim]

d. Orang yang pekerjaannya sangat berat, yang bila tetap berpuasa walaupun ia kuat akan sangat berat dan memayahkannya. Misalnya : pengemudi becak, pekerja tambang, karyawan-karyawan pengangkat barang di stasiun, terminal, pelabuhan, dan sebagainya.
e. Orang yang sakit menahun yang (menurut ahli kesehatan) sulit diharapkan sembuhnya, atau walaupun sembuh tetapi memakan waktu yang lama sekali.
f. Siapa saja yang karena kondisi badannya atau sebab-sebab lain akan amat berat sekali bila berpuasa, walaupun bila dipaksa akan kuat juga.
Untuk nomor d, e, dan f, ini pun dasarnya adalah keumuman lafadh dari ayat 184 surat Al-Baqarah di atas.

Semua yang tersebut di atas, boleh tidak berpuasa dan wajib membayar fidyah tanpa harus mengganti puasa di hari yang lain.

8. Yang Wajib untuk Tidak Berpuasa dan Wajib Mengganti Dengan Puasa di Hari yang Lain
Yaitu khusus bagi wanita yang sedang haidl atau nifas. Berdasar riwayat :

Dari ‘Aisyah, bahwa ia berkata, “Adalah kami haidl dimasa Rasulullah SAW maka kami diperintahkan supaya mengqadla’ (mengganti) puasa dan kami tidak diperintahkan mengqadla’ shalat. [HR. Al-Jama’ah dari Al-Muadzah]

Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Abu Sa’id, bahwa Nabi SAW bersabda :

Bukankah apabila seorang wanita itu haidl, ia tidak shalat dan tidak berpuasa? Itulah dari kekurangan agamanya. [HR. Bukhari juz 2, hal. 239]

Dikutip dari Brosur Pengajian Ahad Pagi Tahun 2006 MTA (Majelis Tafsir Al-Qur’an) Surakarta Tanggal 24 September 2006/01 Ramadlan 1427 H

Tidak ada komentar: